Foto: Korban mafia tanah, Iin Atika Malonda (kiri) saat bersama advokat senior yang dijuluki Panglima Hukum Dr.(c) Togar Situmorang, S.H., M.H., M.A.P.
Denpasar (Panglimahukum.com)-
“Untung tak terkejar. Apes tak terhindar.” Begitulah kira-kira perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan penderitaan yang kini dialami Iin Atika Malonda yang menjadi korban mafia tanah di Bali.
Wanita yang kini bekerja di Norwegia sebagai travel consultant ini terpaksa “gigit jari”. Pasalnya uang miliaran rupiah yang semestinya jadi hasil penjualan vilanya kini malah raib entah kemana.
Ia menjadi korban penipuan dalam transaksi jual beli vilanya yang beralamat di Jalan Gita Kencana, Gang Kencana 2, Jimbaran, Kabupaten Badung.
Polda Bali pun telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini yakni Ahmad Yuda dan Christien Hartoyo terkait kasus dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/45/IX//2018/Bali/SPKT.
Dimana kedua tersangka ini juga telah masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) yang diterbitkan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Bali sejak tanggal 21 Maret 2019 dengan Nomor: DPO/06/III/Res.1.11/2019/Ditreskrimum.
Atas kasus yang menimpanya ini, Iin Atika Malonda juga meminta bantuan hukum kepada advokat senior yang dijuluki Panglima Hukum Dr.(c) Togar Situmorang, S.H., M.H., M.A.P., saat mendatangi Law Firm Togar Situmorang & Associates, Jalan Gatot Subroto Timur nomor 22 Denpasar baru-baru ini.
Di hadapan advokat senior ini, ia menceritakan kronologis kejadian hingga dirinya menjadi korban mafia tanah yang memang kian marak di Bali dan banyak juga menelan korban rakyat kecil serta mengincar tanah-tanah di kawasan premium di Bali Selatan.
Begini Kronologisnya
Iin Atika Malonda menuturkan kasus ini berawal ketika tanggal 27 Desember 2017 ada seorang bersama Ahmad (tersangka) datang mau membeli obyek vila miliknya dan sepakat harga Rp 7,5 miliar.
Dimana pembayaran dilakukan dalam beberapa termin. Yakni uang muka Rp 500 juta. Lalu bulan kedua Rp 3,5 miliar, berikutnya bulan ketiga sebesar Rp 3,5 miliar.
Lalu pada tanggal 3 Januari 2018 seharusnya dilakukan penandatanganan. Namun Ahmad tidak datang dan meminta Christien partnernya untuk menandatangani jual beli tersebut.
Lalu pada tanggal 4 Januari 2018 Christien datang bersama dua orang anaknya untuk mengecek villa dan melihat sertifikat asli tanah tersebut. Namun penandatanganan jual beli ditunda dengan alasan Ahmd selaku partnernya masih berada di Jakarta.
“Karena saya harus pulang ke Norwegia saya memberikan kuasa ke Ade Novit untuk menandatangai PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) di notaris yang saya tunjuk Edy Winarta,” terang Iin Atika Malonda.
Pada tanggal 14 Januari 2019 Christien (tersangka) menyampaikan bahwa mereka (Christien dan Ahmad) mengajukan apraisal ke bank sebesar Rp 2,5 miliar atas villa ini. Pihak Atika diminta untuk menerima uang Rp 2,5 miliar dan selanjutnya dikembalikan ke mereka (Christien dan Ahmad) Rp 2 miliar.
Sebab sesuai perjanjian awal bahwa Iin Atika Malonda selaku penjual vila akan menerima uang muka Rp 500 juta. Agar semua urusan lancar, oleh pihak Christien pihak Atika diminta harus mengiyakankan semua yang disampaikan oleh notaris.
Dalam perjalanan akhirnya PPJB berlangsung di notaris yang ditujuk pihak Ahmad dan Christien yakni di notaris lKS. Namun ada kejanggalan dalam transaksi ini dimana dalam PPJB bukan atas Christien atau Ahmad dengan Ade Novit selaku pemegang kuasa pemilik vila Iin Atika Malonda.
Melainkan dalam PPJB itu muncul nama AL selaku pembeli. Saat hal ini sempat ditanyakan oleh perwakilan pihak Atika (korban), tersangka Christien hanya menjawab bahwa AL adalah pihak yang membiayai jual beli.
Lalu pada tanggal itu 15 Januari 2018 dibacakan PPJB dan bahwa AL membeli obyek villa dengan harga Rp 2,5 lunas. “PPJB tertanggal 8 Januari sementara kenyataannya 15 Januari,” terang Iin Atika Malonda.
Setelah dari notaris semua pihak ke bank. Dimana AL mentransfer uang ke Ade Novit (pemegang kuasa Iin Atika Malonda) sebesar Rp 2,5 miliar. Kemudian Ade Novit diminta mentransfer kembali ke blanko bank yang sudah disiapkan.
Rinciannya Rp 500 juta ke F tangan kanannya AL, tertulis pembayaran hutang. Lalu Rp 33 juta ke notaris untuk fee dan Rp 1, 466 miliar ke Ahmad Yuda (tersangka).
Setelah kejadian ini dan Iin Atika Malonda kembali ke indonesia, Chriestien (tersangka lainnya) mengembalikan uang dan mentransfer ke F sbesar 600 juta.
“Sampai saat ini saya hanya menerima Rp 500 juta uang muka seperti yang dijanjikan di awal sementara di PPJB sudah dibuat lunas dan hingga saat ini saya tidak menerima sisa pembayaran sesuai yang disepakati,” ungkap Iin Atika Malonda.
Ia pun berharap Polda Bali dapat menuntaskan kasus ini dan memberantas mafia tanah di Bali. “Bapak Kapolda tolong tegakkan supremasi hukum terhadap korban mafia tanah di Bali seperti saya,” tutupnya.
Polda Bali Harus Berani Basmi Mafia Tanah
Sementara itu advokat senior yang dijuluki Panglima Hukum Dr.(c) Togar Situmorang, S.H., M.H., M.A.P., mengaku miris dengan semakin banyak korban berjatuhan atas aksi tipu-tipu mafia tanah di Pulau Dewata.
Agar tidak jatuh lebih banyak korban lagi, advokat yang juga Dewan Pakar Forum Bela Negara Provinsi Bali ini berharap Polda Bali dapat tegas dan sigap memberantas mafia tanah yang makin meresahkan ini.
“Kami dukung penuh statement awal Bapak Kapolda Bali bahwa akan memberantas semua mafia tanah di Bali. Polisi harus tetap gencar membasmi mafia tanah ini,” kata Togar Situmorang, advokat dengan sederet prestasi dan penghargaan seperti terdaftar di dalam Indonesia 50 Best Lawyer Award 2019, Best Winners- Indonesia Business Development Award, serta sederet prestasi lainnya.
“Kasihan banyak jatuh korban,” kata Togar Situmorang yang juga Managing Partner Law Office Togar Situmorang & Associates yang beralamat di Jl. Tukad Citarum No. 5A Renon Denpasar Bali & juga merupakan rekanan OTO 27 yaitu bisnis usaha yang bergerak di bidang, Insurance AIA, Property penjualan Villa, Showroom Mobil, Showroom Motor, Coffee Shop yang beralamat di Jl. Gatot Subroto Timur No. 22 Denpasar ini. (phm)