Penyalahguna Narkotika Sepatutnya Dapat Pembinaan Agar Paham UU Narkotika Secara Utuh

Kolom Artikel ini telah dimuat di Hukum Online dan disadur kembali sebagai upaya para Pembaca yang budiman lebih luas lagi untuk mengetahui tentang Hukum pada kasus Narkotika, semoga bermanfaat.

Memahami UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika harus secara utuh. Apa tujuannya, apa misi penegak hukumnya, tidak bisa hanya memahami secara parsial atau pasal per pasal saja. Jika UU Narkotika tidak secara utuh dipahami bisa terjadi hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana bagi penyalah guna narkotika seperti yang dialami oleh salah satu artis Nia Ramadhani dan suami.

Hakim dalam melakukan tugasnya tidak berpedoman pada tujuan UU Narkotika dan menyengsarakan masyarakat. Hakim semestinya menghukum rehabilitasi para penyalah guna narkotika. Tapi faktanya malah sebaliknya, hakim menghukum penjara para penyalah guna yang sepatutnya mendapatkan pembinaan agar memahami UU Narkotika secara utuh.

Secara yuridis, dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim wajib (Pasal 127 ayat 3) memutuskan atau menetapkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi sebagai bentuk hukuman (Pasal 103), dengan memperhatikan lebih dulu kondisi taraf ketergantungan terdakwanya (Pasal 54) dan unsur yang dapat menggugurkan tindak pidana yang dilakukan oleh penyalah guna (Pasal 55).

Misalnya, dalam kasus Nia cs melakukan wajib lapor pecandu ke IPWL maka status pidana Nia cs menjadi tidak dituntut pidana. Sedangkan kalau Nia cs ketika pertama kali menggunakan narkotika karena dibujuk dirayu ditipu diperdaya bahkan dipaksa menggunakan narkotika maka disebut korban penyalahgunaan narkotika. Kalau Nia cs sudah berulang kali menggunakan narkotika disebut pecandu. Penyalah guna narkotika baik sebagai korban penyalahgunaan narkotika maupun pecandu secara yuridis wajib menjalani rehabilitasi (Pasal 54).

Meskipun hakim punya kebebasan dan keyakinan untuk menjatuhkan hukuman tetapi dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim tidak boleh bersembunyi atas nama kebebasan dan keyakinan hakim. Ini dikarenakan tujuan dibuatnya UU dengan jelas bahwa dalam memberantas peredaran gelap narkotika, dan UU menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi.

Sehingga penegak hukum dalam memeriksa perkara narkotika untuk dikonsumsi tugasnya adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Khusus hakim, diberi kewajiban (Pasal 127 ayat 2) dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika seperti yang dialami Nia cs, untuk memperhatikan penggunaan kewenangan berdasarkan Pasal 103 ayat (1) yaitu kewenangan untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi sesuai tujuan dibuatnya UU Narkotika.

Kalau majelis hakim yang tidak memperhatikan tujuan dan misi penegakan hukum serta kewajiban dan kewenangan yang diberikan UU Narkotika, kemudian menghukum penjara bagi penyalah guna seperti Nia cs; lantas Apa Mahkamah Agung diam saja atau Mahkamah Agung justru merestui penyalah guna narkotika dihukum penjara.

Dalam perkara yang menimpa Nia dan Ardi Bakrie misalnya, keduanya dinilai hakim bukan korban penyalahgunaan narkotika dan terbukti melanggar Pasal 127 (1) huruf (a) UU Narkotika juncto Pasal 55 ayat )1) ke-1 KUHPidana.

Nia dan Ardi memang bukan korban penyalahgunaan, tetapi Nia dan Ardi sudah mencapai tahap penyalah guna dalam keadaan ketergantungan narkotika yang disebut pecandu. Penyalah guna itu sadar dan punya niat untuk mengkonsumsi narkotika tetapi niatnya karena dorongan dari sakit ketergantungan narkotika yang dideritanya. Biasanya, niat penyalah guna untuk menggunakan narkotika hanya karena dorongan akibat sakit ketergantungan yang dideritanya.

Perlu diluruskan bahwa untuk menjadi penyalah guna narkotika bukan atas karena ingin mencoba pakai, tetapi prosesnya untuk pertama kali menggunakan narkotika karena dibujuk, dirayu, ditipu, diperdaya dan dipaksa untuk menggunakan narkotika, yang demikian ini disebut korban penyalahgunaan narkotika. Setelah menjadi korban penyalahgunaan narkotika, kemudian melanjutkan kariernya sebagai penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan narkotika yang disebut pecandu.

Berdasarkan Pasal 54 UU Narkotika bahwa korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu wajib menjalani rehabilitasi. Itu sebabnya misi jaksa penuntut dan hakim dalam proses pengadilan perkara penyalahgunaan narkotika adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, oleh karena itu jangan curiga kalau penyalah guna seperti Nia cs dituntut dengan hukuman rehabilitasi selama 1 tahun di Rumah Sakit Ketergantungan Obat.

Sejak Jaksa Agung mengeluarkan pedoman dalam menuntut perkara penyalah guna narkotika dengan tuntutan rehabilitasi, sudah ada hakim yang memutuskan hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika antara lain di Pengadilan Negeri Medan.

Jaksa Penuntut Umum mendakwa Denny Hendra Darin yang bekerja sebagai kuli bangunan dengan dakwaan berdasarkan Pasal 127 ayat (1) huruf (a) karena ketika ditangkap kedapatan barang bukti seberat 0,16 gram sabu. Warga jalan Rahmadsyah Ruko Town House Kelurahan Kota Matsun 1 Kecamatan Medan Area ini mengaku menghisap sabu agar tenang serta sudah 3 tahun menggunakan narkotika.

Majelis Hakim berpendapat perbuatan terdakwa Denny Hendra Darin terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf (a) UU Narkotika. Keputusan majelis hakim, memvonis Denny Hendra Darin, kuli bangunan tersebut untuk menjalani rehabilitasi selama 6 bulan di Loka Rehabilitasi BNN Diliserdang, dikurangi masa rehabilitasi yang telah dijalani.

Di Pengadilan Negeri Lampung Tengah, lebih dari tujuh perkara penyalahgunaan narkotika yang dituntut dan didakwa berdasarkan Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika. Hasilnya, hakim menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna yang dilaksanakan di Loka Rehabilitasi BNN Kalianda.

Penyalah guna selama proses peradilan, tidak dilakukan penahanan, karena misi penegak hukum adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, melalui kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim untuk menempatkan penyalah guna ke dalam lembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum dan menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Di Pengadilan Negeri Surabaya, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan tuntutan rehabilitasi namun putusan hakimnya rehabilitasi selama 3 bulan di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, dan hukuman penjara selama 4 bulan.

Kalau jaksa menuntut penyalah guna untuk direhabilitasi seperti apa yang dialami oleh Nia Rahmadani cs kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk memenjarakan. Lantas apa hakim benar-benar tidak paham akan tujuan dibuatnya UU dan misi penegakan hukum serta kewajiban dan kewenangan hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika? Apakah hakim hakim juga tidak paham kalau penyalah guna narkotika dalam proses pengadilan, terbukti salah atau tidak bersalah, hukumannya berupa menjalani rehabilitasi bukan hukuman penjara?

Semoga, penyalah guna memperoleh keadilan dalam bentuk rehabilitasi bukan melalui pemenjaraan. Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalahgunanya dan penjarakan pengedarnya.

Penulis : Dr. Togar Situmorang S.H., M.H., MAP., CMed., CLA. (Seorang Advokat dan sebagai Chief Executive Officer & Founder Law Firm Togar Situmorang yang berkantor di Bali, Jakarta dan Bandung). Alamat dapat dilihat melalui website https://tslawfirm.co.id