Johan Eka Pahasa: Budaya Bali Sumber Inspirasi dan “Harta Karun” bagi Ekonomi Kreatif

Pemerhati ekonomi Johan Eka Pahasa, S.E.,yang juga caleg PSI (Partai Solidaritas Indonesia) maju ke DPRD Bali dapil Denpasar nomor urut 1 menilai kekayaaan budaya Bali bisa menjadi sumber inspirasi yang luar biasa bagi pengembangan ekonomi kreatif di Pulau Dewata.

“Bahkan kekayaan, keunikan dan nilai adiluhung budaya Bali ibaratnya menjadi harta karun untuk penguatan ekonomi kreatif ini. Hal itu yang harus terus kita gali dan didorong pemerintah,” kata Johan Eka Pahasa ditemui di Denpasar, Rabu (13/3/2019).

Pria yang juga pengusaha properti dan otomotif serta sempat juga berkecimpung di ekonomi kreatif ini menilai dari 16 subsektor ekonomi kreatif semuanya bisa dikembangkan dengan menggali kekuatan nilai-nilai budaya Bali untuk bisa dikomersilkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebanyak 16 subsektor ekonomi kreatif itu adalah aplikasi dan pengembangan game, arsitektur dan desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fesyen, film, animasi video, fotografi, kriya (kerajinan tangan), kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni‎ rupa, televisi dan radio. 

Johan Eka Pahasa mencontohkan di bidang kuliner, tentu kuliner khas Bali bisa terus dikembangkan dan dikemas agar bisa naik kelas tidak hanya jadi konsumsi nasional bahkan juga hingga digemari masyarakat internasional. Misalnya yang cukup kuat potensinya dan sudah dikenal adalah ayam betutu, sate lilit, babi guling dan lainnya. Juga ada kreasi kuliner lokal dengan  ikon kuliner modern contohnya dengan hadirnya pizza sambal matah.

Sektor lain yang sangat kental dengan produk khas budaya Bali, imbuh Johan, adalah di sektor fesyen. Misalnya kain endek dan tenun Bali kini menjadi semakin fashionable dikreasikan dan didesain dengan sentuhan rasa modernitas tapi tetap mempertahankan juga ciri khas kearifan lokal.

Karakteristik hasil karya cipta budaya Bali juga tampak kental dalam produk kerajinan (kriya). Seni kerajinan dengan desain khas menjadi produk ekspor. “Seperti misalnya perak Celuk, patung dan jenis cendera mata berbahan baku kayu, kerajinan bambu, rotan dan anyaman,” beber Johan.

Nilai ekspor kerajinan Bali tiap tahun juga terus meningkat. Misalnya Bali meraup devisa sebesar 220,60 juta dolar AS dari ekspor hasil kerajinan skala rumah tangga selama 2017, atau naik 19,84 juta dolar AS atau 9,88 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat 200,76 juta dolar AS.

Film, Animasi Hingga Game dan Aplikasi Juga Potensinya Besar

Lalu di sektor film, budaya Bali juga menjadi inspirasi bagi para sineas lokal, nasional maupun internasional untuk menciptakan karya fenomenal. Contohnya  kesuksesan film “Bali: Beats of Paradise” (Bali Mengalahkan Surga) yang menjadi perbincangan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Korea dan Filipina. Apalagi Walt Disney Studios dan Academy of Motion Picture Arts and Sciences Library (AMPAS) juga memberikan apresiasi yang tinggi terhadap film ini.

Film “Bali: Beats of Paradise” sendiri mengisahkan perjalanan hidup Nyoman Wenten, seniman gamelan yang tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat bersama istrinya Nanik Wenten. Sepasang suami istri asal Bali, Indonesia ini memiliki mimpi dan cita-cita mulia memperkenalkan gamelan Bali di dunia internasional.

Film yang memiliki kekuatan akan cerminan kekayaan budaya Indonesia khususnya budaya Bal ini disutradarai Livi Zheng. Setelah sukses dan diapresiasi di luar negeri, rencananya film ini juga akan diputar serentak di seluruh bioskop di tanah air mulai Juli 2019.

“Budaya Bali juga bisa diangkat dalam subsektor  ekonomi kreatif lainnya  seperti aplikasi dan pengembangan game, arsitektur dan desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, animasi video, fotografi,  musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni‎ rupa, hingga tayangan televisi dan radio,” ungkap Johan.

Untuk itu pihaknya berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat terus mendorong pengembangan ekonomi kreatif Bali yang berdasarkan pada spirit nilai-nilai, kekayaan dan keunikan budaya Bali. “Saat ini hanya tiga subsektor ekonomi kreatif yang berkembang pesat yakni kuliner, fesyen dan kriya. PR selanjutnya bagaimana mengangkat potensi subsektor lainnya,” harap Johan.

Tiga sektor ini juga makin bergeliat di Bali yang merupakan destinasi pariwisata internasional. Sementara subsektor ekonomi kreatif lain yang pertumbuhan bagus antara lain film animasi dan video, desain komunikasi visual, serta aplikasi dan pengembangan game.

“Untuk film animasi dan video potensi dikembangkan di Bali sangat besar apalagi dengan keunikan dan keragaman budaya yang bisa diangkat menjadi bumbu cerita,” tegas Johan.

Nilai Ekonomi Kreatif Terus Melesat

Mengutip data dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), sektor ekonomi kreatif telah berkembang pesat di Indonesia. Pada tahun 2015 sektor ini menyumbang Rp 852 triliun atau 7,38 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lalu pada tahun 2016 sektor yang menaungi industri film ini pun menyumbang PDB sebesar Rp 922,58 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 13,47 persen.

Tahun 2017 menyumbang Rp 990 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 17,4 persen. Sementara untuk tahun 2018 ini diproyeksikan menyumbang PDB sebesar Rp 1.041 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 18,2 persen.

“Jadi secara nasional ekonomi kreatif akan menjadi kekuatan ekonomi baru yang mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan,” tandas Johan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tiga subsektor utama ekonomi kreatif di Indonesia yang berkembang pesat yakni kuliner, fashion, dan kriya. Pada 2016, subsektor kuliner menjadi menyumbang terbesar dalam PDB ekonomi kreatif yakni sebesar 41,40% atau sekitar Rp 382 triliun.

Kemudian untuk subsektor fashion tercatat menyumbang sebesar 18,01% atau sebesar Rp 166 triliun, dan disusul subsektor kriya sebesar 15,4% atau sebesar Rp 142 triliun di 2016 lalu. (dan)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini