Tanggapan Dr. Togar Situmorang, S.H., M.H., MAP, CLA, CRA Terkait Banyaknya Kendaraan Bermobil yang Masuk Bengkel Diduga Akibat BBM Pertalite yang Bermasalah

Dr. Togar Situmorang, S.H., M.H., MAP, CLA, CRA adalah seorang Praktisi Hukum dan Pengamat Kebijkan Publik yang memiliki rekam jejak panjang dalam dunia hukum dan pemerintahan. Sebagai pendiri Law Firm Togar Situmorang, ia dikenal vokal dalam menyuarakan isu-isu strategis yang berdampak langsung terhadap kepentingan masyarakat, khususnya dalam aspek perlindungan konsumen, akuntabilitas korporasi negara, serta penegakan prinsip good governance dalam pelayanan publik.

Dalam beberapa waktu terakhir, saya menyoroti secara serius fenomena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang masuk bengkel akibat kerusakan pada sistem pembakaran mesin, yang diduga kuat terkait dengan kualitas bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis Pertalite. Banyak bengkel otomotif dari berbagai wilayah di Indonesia melaporkan lonjakan kendaraan yang mengalami masalah teknis serius, seperti pembentukan endapan, pencemaran bahan bakar, dan munculnya residu yang tidak seharusnya terdapat dalam BBM sesuai standar nasional. Kondisi ini tentu sangat merugikan masyarakat, baik secara ekonomi maupun dari aspek keselamatan berkendara.

Apabila dugaan tersebut terbukti, maka peristiwa ini dapat dikualifikasikan sebagai bentuk kelalaian korporasi (corporate negligence) yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) selaku BUMN yang mendapat mandat dari negara untuk mendistribusikan BBM subsidi kepada masyarakat.

Maka Fenomena meningkatnya kendaraan bermotor yang mengalami kerusakan pada sistem pembakaran akibat dugaan kualitas bahan bakar minyak (BBM) yang buruk, khususnya jenis Pertalite, memunculkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat. Bengkel-bengkel otomotif di berbagai daerah melaporkan banyaknya kasus kendaraan yang harus dikuras tangki bahan bakarnya karena ditemukan endapan, kontaminasi, atau residu yang tidak semestinya terdapat dalam BBM standar. Bila fakta ini terbukti melalui pengujian ilmiah yang valid, maka peristiwa ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi telah menjadi masalah hukum publik yang signifikan.

Dalam kerangka hukum nasional, kualitas BBM yang beredar di masyarakat diatur secara ketat oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi fondasi utama dalam perlindungan hak-hak konsumen. Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan f, ditegaskan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan standar mutu maupun informasi produk yang diberikan. Jika Pertalite yang beredar ternyata tidak sesuai standar nasional atau mengandung zat pencemar, maka peredarannya telah melanggar ketentuan ini. Lebih lanjut, Pasal 19 ayat (1) mewajibkan pelaku usaha memberikan ganti rugi atas kerusakan atau kerugian akibat penggunaan produk cacat tersebut, menegaskan bahwa tanggung jawab hukum tidak dapat dihindari jika konsumen mengalami kerugian.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, melalui Pasal 46, memuat kewajiban bagi setiap badan usaha di sektor hilir migas, termasuk PT Pertamina (Persero), untuk menjamin mutu dan keamanan BBM yang didistribusikan. Kewajiban ini bersifat mutlak dan merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dan kepentingan umum.

Regulasi teknis lebih lanjut ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan bahwa kegiatan distribusi dan niaga BBM wajib memenuhi standar mutu dan keamanan sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah. Kegagalan memenuhi standar ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang lebih luas, termasuk kemungkinan sanksi pidana dan perdata.

Tak kalah penting, seluruh BBM yang beredar di Indonesia wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Apabila hasil uji mutu menunjukkan bahwa BBM tidak memenuhi SNI, maka hal itu dapat menjadi bukti kuat pelanggaran, baik dari sisi kelalaian korporasi maupun dari aspek pengawasan negara.

Berdasarkan kerangka normatif tersebut, dalam pandangan hukum, kondisi ini menunjukkan potensi terjadinya kelalaian korporasi (corporate negligence) oleh Pertamina sebagai penyedia BBM bersubsidi. Sebagai badan usaha milik negara, Pertamina memiliki tanggung jawab moral, sosial, dan hukum terhadap masyarakat, terutama karena BBM jenis Pertalite merupakan bahan bakar yang dikonsumsi secara luas oleh kalangan menengah ke bawah. Penyimpangan mutu BBM tidak hanya mencederai hak konsumen, namun juga membahayakan keselamatan pengguna jalan dan berpotensi mengganggu stabilitas sosial apabila tidak ditangani secara serius.

Atas dasar itu, saya merekomendasikan beberapa langkah strategis sebagai berikut:

  1. Audit Independen terhadap Mutu BBM
    Pemerintah, melalui Kementerian ESDM dan BPH Migas, harus segera melakukan uji laboratorium secara menyeluruh terhadap sampel Pertalite dari berbagai wilayah. Pengujian ini harus dilakukan secara terbuka, transparan, dan melibatkan lembaga pengujian independen agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
  2. Pertanggungjawaban Hukum oleh Pertamina
    Apabila terbukti BBM yang didistribusikan cacat mutu, maka Pertamina harus diminta bertanggung jawab, baik melalui mekanisme ganti rugi individual, maupun bentuk kompensasi kolektif. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen dan prinsip akuntabilitas BUMN dalam menjalankan tugas pelayanan publik.
  3. Pelibatan YLKI dan Mekanisme Gugatan Class Action
    Konsumen yang merasa dirugikan dapat menyalurkan laporan resmi ke YLKI atau lembaga konsumen lainnya, serta mempertimbangkan class action terhadap pihak yang terbukti melakukan kelalaian. Ini merupakan bagian dari instrumen hukum untuk memperjuangkan keadilan kolektif masyarakat atas kerugian massal yang terjadi.
  4. Keterbukaan Informasi dan Pengawasan Publik
    Pemerintah wajib memberikan penjelasan resmi kepada masyarakat terkait kondisi ini serta menyusun mekanisme pengawasan dan evaluasi distribusi BBM bersubsidi yang lebih ketat dan berlapis. Transparansi dan tanggung jawab negara dalam hal ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menegakkan prinsip keadilan sosial.