Iklim startup (usaha rintisan) berbasis teknologi di Indonesia kini memang tengah tumbuh subur. Banyak startup baru bermunculan bak cendawan di musim hujan yang sebagian besar juga digawangi generasi muda milenial bahkan tidak sedikit juga yang didirikan generasi Z yang berusia di bawah 20 tahun.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi di Bali khususnya Denpasar walau perkembangan dan iklim startupnya tidak sesubur dan se-booming kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya maupun Yogyakarta.
Menurut tokoh muda Klungkung I Putu Agus Putra Sumardana yang juga tertarik dengan dunia startup ini, tidak majunya iklim startup Bali dibandingkan daerah lain juga tidak lepas dari kurangnya seriusnya pemerintah daerah (pemda) memberi ruang dan merangsang berkembangnya iklim startup di Bali.
Bahkan “konyolnya”, kata pria yang juga caleg DPRD Bali dari Partai Hanura dapil Klungkung nomor urut 2 itu, pemda terkesan tidak tahu startup apa saja yang lahir dan berkembang di Bali.
“Buktinya pemda tidak punya data valid berapa jumlah startup berbasis teknologi di Bali, di sektor mana saja sebarannnya hingga seperti apa kondisi usahanya saat ini atau status mereka,” kata Agus Putra Sumardana saat ditemui di sela-sela simakrama bersama warga di Klungkung, Minggu (3/3/2019).
Apakah status startup di Bali ini? Apakah pipit, cockroach (kecoak), kuda poni atau bahkan mungkin akan jadi unicorn? “Kita tidak tahu karena tidak ada datanya,” ungkap penasehat DPC Partai Hanura Kabupaten Klungkung itu.
Jika data tentang berapa startup di Bali dan di bidang apa saja pemda tidak punya, imbuh advokat muda yang juga Ketua LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pemuda Sejati itu, bagaimana pemda bisa membantu dan memperhatikan para startup. Kesannya startup ini seperti yatim pitau di daerah.
“Pemda tidak tahu keberadaan mereka, apalagi memperhatikannya. Pemda seperti setengah hati membangun iklim startup di Bali,” tegas pria asal Banjar Kaleran, Desa Bumbungan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung itu.
Sementara itu, berdasarkan data dari buku “Mapping dan Database Startup Indonesia 2018” di Bali hanya tercatat ada 30 startup atau total 32 startup jika digabungkan dengan 2 startup yang berbasis di NTB atau Nusa Tenggara Barat (halaman 183).
Dalam buku tersebut disebutkan dari 30 startup Bali ini tersebar di beberapa bidang atau sektor. Seperti e-commerce (6 startup), fintech (1 startup), game (1 startup) dan general (22 startup).
Sementara dari sisi badan usaha, disebutkan n2 startup berbentuk CV, 4 startup berbentuk PT dan sisanya 24 startup dalam buku ini disebutkan tidak diketahui jenis badan usahanya.
Dari sisi sebaran lokasi di Bali dari 30 startup ini 15 diantaranya hanya disebutkan berlokasi/berdomisili di Bali tampak disebut detail kabupaten/kotanya.
Sementara 11 startup lainnya disebutkan berdomisili di Denpasar, sementara untuk Bangli, Badung, Ubud dan Jembrana tercatat masing-masing ada 1 startup.
Pemda Harus Mulai Siapkan Database Startup
Selain data tersebut, sejauh ini data tentang berapa jumlah startup teknologi lokal Bali memang belum ditemukan dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Bali maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Bali.
Ketika dicari secara online di situs-situs resmi Pemda maupun di situs OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait juga data tentang startup ini tidak ditemukan.
Begitu juga saat ditanyakan ke sejumlah pejabat terkait, mereka mengaku saat ini belum memegang data berapa jumlah startup di Bali dan sebarannnya di berbagai sektor.
Misalnya seperti di Dinas Kominfo Provinsi Bali maupun di Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Bali sebab startup teknologi ini bisa dikategorikan sebagai UMKM.
“Untuk data startup di Bali kami memang belum punya. Nanti kami akan koordinasikan juga dengan Dinas Kominfo seperti apa pendataannya,” kata Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Bali Gede Indra Dewa Putra ditemui di kantornya Sabtu (2/3/2019).
Menurut Agus Putra Sumardana data dalam buku “Mapping dan Database Startup Indonesia 2018” walau memang bisa dijadikan rujukan, mungkin juga tidak sepenuhnya valid sebab diketahui masih banyak startup lokal Bali yang tidak terdata dalam data tersebut.
Misalnya banyak startup yang “lulusan” Inkubasi Bisnis (Inbis) STMIK Primakara (kampus technopreneur pertama dan satu-satunya di Bali yang berlokasi di Jalan Tukad Badung, Denpasar).
Contohnya CV. Daksa Digital Teknologi (penyedia software IT) yang beberapa produknya seperti website desa, dan yang sudah banyak digunakan di sejumlah desa di Denpasar adalah aplikasi SIMADE (Sistem Informasi Manajemen Desa/Kelurahan).
Lalu ada pula Ponkod (alat bantu panjat kelapa yang dirancang untuk memudahkan petani kelapa untuk memanen kelapa. Ponkod sendiri saat ini sudah dipasarkan juga ke sejumlah hotel di Bali termasuk sejumlah wilayah di Indonesia seperti di Sulawesi dan Kalimantan.
“Pemerintah harus mulai serius membangun iklim startup di Bali. Jangan biarkan mereka berkembang sendiri. Langkah awalnya bisa mulai dengan melakukan pendataan, siapkan databasenya. Setelah itu baru baca progam pembinaan dan pemberdayaan,” kata Agus. (dan)