Tabrak Regulasi, Sejumlah ASN dan Wakil Bupati Jadi Pengurus KONI Bali

Dr.c Togar Situmorang, S.H., M.H., M.A.P., CMed., CLA.

Denpasar, Panglimahukum.Com| Advokat dan Pengamat Kebijakan Publik Togar Situmorang mengatakan bahwa larangan Pejabat Publik jadi pengurus KONI tidak hanya diatur dalam Pasal 40 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tapi juga Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Olah Raga Pasal 56 menyatakan :

Ayat 1 “Pengurus Komite Olah Raga Nasional, Komite Olah Raga Provinsi, Komite Olah Raga Kabupaten/Kota bersifat Mandiri dan tidak terikat dengan Kegiatan Jabatan Struktural dan Jabatan Publik .

Ayat 2 “Dalam menjalankan tugas, Kewajiban dan Kewenangannya pengurus sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 harus bebas dari pengaruh Intervensi dari Pihak manapun untuk menjaga Netralisasi dan menjamin keprofesionalan pengelolaan keolahragaan”.

Ayat 3 “Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 Dilarang memegang suatu jabatan yang menunjukan Tugas, Tanggung Jawab, Wewenang dan Hak sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil dan Militer dalam Rangka memimpin suatu Organisasi Negara atau Pemerintahan, antara lain Jabatan Eselon di Departemen atau Lembaga Pemerintahan Non Departemen”.

Ayat 4 “Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dilarang memegang suatu jabatan Publik yang diperoleh melalui suatu proses pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui Pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia antara lain Presiden/ Wakil Presiden dan para Anggota Kabinet, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Anggota DPR RI, Anggota DPRD, Hakim Agung, Anggota Komisi Yudisial, Kapolri dan Panglima TNI”.

“Susunan nama pengurus KONI BALI juga ada rangkap jabatan dan kembali belum mencerminkan Reformasi dan Demokrasi sehingga wajib baca Peraturan Pemerintah secara jelas sehingga tidak salah menjelaskan ke masyarakat atau publik karena terbukti beberapa oknum dalam pengurus adalah ASN (Aparatur Sipil Negara ),” kata Togar Situmorang.

“Kalau PP nya belum ada yang mengatur tidak bisa kita benarkan Pejabat Publik boleh menjadi Ketua Umum karena AD/ART KONI 2020 dan Perda Prov Bali No 5 tentang keolahragaan masih melarang Pejabat Publik menjadi Ketua Koni, Pasal ini jelas mengatur tentang larangan ASN jadi pengurus KONI. Juga Pasal 56 ayat 1 sampai 4. dan PP No 16/2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan,” tegasnya.

Selain itu, PP No 11 tahun 2017 tentang PNS merangkap jabatan terutama dalam anggaran atau dana KONI yang bersumber dari pemerintah berupa hibah, APBN/APBD. SE Mendagri No X 800/33/57 tanggal 14 Maret 2016 perihal tidak boleh ada rangkap jabatan Kepala Daerah atau Wakil, Pejabat Struktural dan Fungsional serta anggota DPRD masuk dalam kepengurusan KONI.

“Ada anggota DPRD masuk dalam Dewan Penyantun patut dipertanyakan. Karena diduga melanggar UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Di Pasal 188 dijelaskan, anggota DPRD dilarang merangkap jabatan badan usaha milik daerah dan atau badan lainnya yang anggarannya bersumber dari APBN dan APBD,” ujarnya.

Regulasi lain yang ditabrak yakni Pasal 56 ayat 1 PP 16/2007. Pengurus KONI Daerah bersifat mandiri dan tidak terkait dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik. “Bila terjadi di Kepengurusan KONI Bali maka, nasibnya serupa dengan KONI Jatim sehingga ketua meletakkan jabatan dan struktur bubar,” imbuhnya.

Bila dilanggar, lanjutnya, maka di PP No 16 tahun 2007 Pasal 123 ayat 6 dan 7, menteri merekomendasi kepada pihak terkait menunda penyaluran dana kepada KONI provinsi, kabupaten dan kota.

Terkait sejumlah ASN dan anggota DPRD yang duduk di Kepengurusan KONI Bali Togar telah mengirim surat kepada Kemenpora, DPR RI, Mendagri, Menpan RB dan KONI Pusat, OMBUSDMAN dengan tembusan ke Presiden meminta klarifikasi apakah diperbolehkan ASN duduk dalam organisasi KONI. Inspektorat Provinsi Bali atau Gubernur Bali, Kajati Bali wajib turun tangan dalam hal ini, jangan dibiarkan ASN ada dalam tubuh KONI karena agar tidak menimbulkan dugaan gratifikasi dan perbuatan melawan hukum .

“Masyarakat juga perlu mengawal jalannya penyelenggaraan kegiatan KONI Bali ke depan, terutama penggunaan Dana karena sebelumnya bertiup dugaan korupsi yang telah dilayangkan secara terbuka seorang pecinta olah raga. Karena ada pengaduan masyarakat di Kajati Bali diduga melibatkan mantan Ketua Umum KONI dan Ketua Umum KONI terpilih namun telah dicabut akibat ada tekanan untuk mencabut pengaduan tersebut dari orang tertentu,” tandas Togar Situmorang.

Ia juga berharap selain Kejaksaan Tinggi Bali diharapkan KPK dapat menjalankan kewajiban sesuai Amanah Undang-Undang Korupsi untuk melakukan penyelidikan dan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi serta berupaya mengembalikan kerugian negara akibat korupsi.

Ia mengingatkan, Indonesia Negara Hukum sesuai pasal 1 Ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan berdasarkan UU No.16 Tahun 2004 Tentang KEJAKSAAN. Adapun dasar hukum kewenangan Jaksa sebagai Penyidik terdapat dalam Pasal 30 ayat 1 Huruf D serta diatur juga dalam Pasal 6 ayat 1 KUHAP, maka peran Jaksa dalam penyidikan Tindakan Pidana Korupsi sudah memiliki dasar hukum.

“Pengaduan masyarakat tentang korupsi merupakan pintu masuk untuk mengusut tuntas serta diharapkan bisa konsisten dan profesional dalam penegakkan hukum juga peraturan perundang-undangan. Karena bila tidak demikian maka itu berakibat timbulnya perilaku koruptif dan merasa Kebal Hukum,” tandas Togar.

KONI merupakan Badan Publik seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UU NO 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Dengan itu diingatkan karena Anggaran Induk Organisasi Olah Raga tersebut bersumber dari APBN atau APBD. Karena itu baik pengelolaan maupun penggunaan anggaran KONI mesti transparan, terbuka, akuntabel dan informasinya dapat diakses publik.

Apakah anggaran untuk pembinaan atlet, cabang olahraga ataupun honor pengurus KONI BALI harus transparan dan tidak ingin peristiwa mantan Gubernur Bali Ida Bagus Oka yang saat itu menjabat Ketum KONI BALI terulang kembali, sehingga para Atlet dan Pengurus melaksanakan semua kegiatan olah raga tidak terhambat dengan dana yang tidak transparan dan juga selain ASN mesti juga diperhatikan kelayakan syarat maksimal usia Ketum KONI.

“Dan ini wajib dipertanyakan dan kalo semua ASN apa tidak itu ada Abuse Of Power dan sangat rentan dugaan gratifikasi karena melekat jabatan publik dan rangkap jabatan akan ada potensial perbuatan melawan hukum,” tukasnya.

“Dana gurih bancakan Koni dugaan salah satu indikator ada ketakutan pihak tertentu untuk tidak transparannya dalam pengelolaan anggaran di Induk organisasi tersebut, sehingga ada dugaan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan sampai mal-administrasi serta praktik kolusi nepotisme, badan publik oleh sebagian orang demi melanggengkan kekuasaan dibantu penguasa daerah agar ingin mencuri uang rakyat dari dana hibah dan APBN juga APBD,” tutup Togar Situmorang.(*/02)